Moral Education
Salah
satu pemikiran filsuf Aristoteles, seorang filsuf dari Yunani memang benar
adanya. Ia memiliki prinsip soul and
body dualism yakni, artinya manusia pada hakikatnya terdiri dari dua
elemen dasar, yaitu rohani dan ragawi.
Begitu pula dengan
pendidikan, pendidikan setidaknya harus mencakup keduanya (pendidikan rohani
maupun pendidikan ragawi-dalam hal ini otak-), karena pada dasarnya pendidikan
itu sendiri memiliki arti atau bermakna sebagai proses pentransferan ilmu, perasaan, serta cara maupun
kaidah-kaidah bagaimana seharusnya bersikap maupun bertindak sesuai dengan norma yang berlaku, serta tidak melewati
batas-batas nilai-nilai ataupun ajaran agama. Sehingga tertanam dalam pribadi
anak didik integritas yang tinggi terhadap nilai-nilai serta aturan tersebut.
Seperti halnya
yang pernah diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa untuk membentuk anak
didik yang berkarakter yakni dengan pendidikan yang berasaskan atau berpilar
pada cipta, rasa dan karsa.
Berbeda halnya
dengan pengajaran, yang mana di dalam pengajaran para pendidik hanya memberikan
ilmu hanya sebatas dalam ranah pengetahuan saja tanpa melibatkan ranah
perasaaan (affective), sikap (attitude) dan tindakan (action).
Maraknya
fenomena degradasi moral di kalangan anak didik saat ini sangatlah
memprihatinkan, perilaku-perilaku amoral sudah merajalela di kalangan anak
didik, mulai dari kasus tawuran antar pelajar, kasus narkoba, kasus minuman
keras, kasus seks pra-nikah, video porno, sampai kasus korupsi dan suap yang
mana korupsi ini pevalensinya banyak melibatkan orang-orang yang terdidik dan
terpelajar yang seharusnya menjadi panutan atau uswah hasanah bagi
rakyat.
Disinilah
peran pendidik untuk menanamkan pendidikan karakter kepada anak didik.
Pendidikan karakter sebagai salah satu yang berperan penting sebagai solusi
dari dekadensi moral yang terjadi saat ini. Peranan sekolah sangat penting
dalam pembentukan karakter anak didik di samping peranan orang tua dan
lingkungan. Seyogyanya lembaga di Indonesia menggunakan sistem mendidik bukan
hanya mengajar dalam hal pendidikan karakter anak bangsa. Pendidik seyogyanya
seperti yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu ing ngarso sung
tulodho (pendidik harus mampu memberikan keteladanan sikap dan tindakan),
lebih khususnya keteladanan moral. Apalagi pendidik-guru- merupakan sosok yang
digugu lan ditiru (dipatuhi dan dicontoh tindakannya).
Peranan
pendidikan karakter di sekolah pernah dilakukan oleh Berkowitz dan Bier (2003)
dan mereka menyataka bahwa penerapan pendidikan berkarakter moral di sekolah
mempengaruhi peningkatan motivasi siswa dalam meraih prestasi. Hal ini
dikarenakan di antara salah satu tujuan dari pendidikan moral itu sendiri yakni
untuk mengembangkan kepribadian berintegritas tinggi terhadap nilai maupun
norma yang berlaku. Ketika individu memilki integritas, secara tidak langsung
anak didik akan memiliki keyakinan terhadap potensi diri (self efficacy)
dalam dirinya untuk mengatasi dan menghadapi hambatan yang ia temukan dalam
belajar.
Dalam
penelitian Narvaes (2006) menyebutkan bahwa peserta didik yang mendapatkan
pendidikan berkarakter, moralnya akan lebih:
1.
Mudah memahami situasi moral
secara akurat dan menegakkan aturan atau nilai yang diinternalisasi.
2.
Memiliki alat atau metode untuk
memecahkan masalah yang pelik (kompleks).
3.
Tetap terfokus terhadap
tugas-tugas akademis dan termotivasi untuk mengatasi hambatan dalam
pembelajaran.
4.
Mampu memprioritaskan
tujuan-tujuan etis untuk pengembangan diri dan pemberdayaan sosial.
Dengan demikian
pendidikan yang berkarakter moral, dapat membantu anak didik memahami kebaikan, mencintai kebaikan dan
menjalankan kebaikan (know the good, love the good, and do the good).
Dengan demikian, moral sebagai pembeda antara orang terdidik dengan orang yang
tidak terdidik. Oleh karena itu, pendidikan tidak hanya memberikan ‘asupan’
untuk raga (dalam hal ini direpresentasikan dengan otak) tetapi juga ‘asupan’
untuk rohani berupa moralitas, untuk menentukan sikap baik-buruk atau
benar-salah.
Komentar
Posting Komentar